Saturday, April 16, 2016

Asosiasi Bebas

Di studio saya, ada ulangan mendadak. Entah apa namanya, yang jelas tidak berhubungan dengan kuis atau tulisan. Seluruh mahasiswa/i diminta untuk membuat model eksplorasi selama 45 menit per model untuk total 3 buah model. Jadi, selama 3 jam kami diminta untuk memaparkan ide spasial melalui model yang representatif.

Aturan mainnya juga sederhana, buat ide pertama yang terlintas di benak kalian, titah sang dosen. 

yang menarik, hal ini mirip dengan freewriting. 

Freewriting menggunakan asosiasi bebas untuk membentuk suatu paragraf. Apa-apa yang terlintas di benak dituliskan tanpa sensor atau penghapus. Fungsinya sederhana, menghilangkan hal-hal mencemaskan dari kegiatan menulis; keyakinan, struktur, tanggung jawab tulisan, dsb. 

Umumnya freewriting digunakan sebagai pendekatan kreatif untuk mengurai ide. Efek yang dikejar disini sama. Bahkan, kadang jika dibarengi niat, model yang dibuat dapat dikembangkan sebagai komponen utama project. 

Ultimatumnya juga jelas; cobalah melupakan tanggung jawab penyelesaian masalah dengan mencoba mengurai pikiran dalam model. Sebab model adalah instrumen penting dalam penalaran spasial.

Budi pekerti ini memang perlu dilestarikan dalam studio. 

Walaupun proses membuat model dengan terburu-buru bisa dianggap sporadis, dan hasil yang terbangun pada umumnya masih lemah dalam argumen, bahkan bisa terjebak dalam omong kosong dan debat telur ayam; 

jadi model ini menjelaskan hubungan spasial antara celah yang mereduksi bidang planar dalam rumah untuk memperkuat visibilitas dari subjek.
jadi dengan mengurangi dinding?
iya mbak
kenapa tidak diberi jendela saja?
oh iya 

Namun, proses itu sendiri mengantar seseorang untuk terbiasa mengkomposisikan kualitas spasial, membentuk ide secara keruangan, setidak-tidaknya memahami ide sendiri.

Hal ini mengingatkan saya, bahwa analogi antara arsitektur dan teks itu selaras. Salah satu dosen biasa menggunakan pendekatan naratif dalam menjelaskan desainnya. Dosen ini juga yang menganalogikan denah dengan tolak ukur peta gaming. 

Baginya, pada setiap titik dari sebuah karya arsitektural, penting untuk punya cerita. Dimana seseorang berdiri, disana bangunan punya obrolan. Tembok dan tali air punya cerita tentang arah, sebagaimana pohon kemboja mengajak seseorang untuk melewati taman sebelum memasuki rumah. Sebelum dan sesudah masuk rumah, orang sebaik-baiknya mendapat manfaat estetika setelah fungsi.

Dari tiap-tiap bagian rumah, merupakan bab yang membangun keseluruhan rumah. Dalam suatu bagian rumah, ada kompleksitas yang kaya, tanpa perlu melepaskan diri dari benang merah pintu depan hingga teras belakang. Bedah lebih dalam, tata perabotan dapat menjadi statement tentang suatu rumah. Masuk dan duduklah. 

Dan seperti sihir, rancangan yang baik dapat membuat orang duduk dan mengobrol, sama seperti saat menangis membaca buku kematian lennie dalam of mice and man; begitu saja, tanpa disuruh.

Maka, asosiasi bebas yang dilakukan hari itu, terlepas dari berakhir atau tidaknya di tempat sampah, membantu kami untuk mengingat kembali hal yang ingin kami ceritakan. Mahasiswa yang punya penggalan narasi patah-patah tentang fraksi cahaya dan kehangatan kamar tapi tak tahu cara menjelaskannya, punya dua kemungkinan, (1) terpaku (2) menemukannya diantara lekukan karton dan potongan beermat. 

Monday, April 11, 2016

Icarus



Ada dua lagu yang merepresentasikan legenda Icarus. Yang pertama, Kuning dari Rumahsakit, dan yang kedua Flight of Icarus oleh Iron Maiden. Lagu pertama, jika tidak didakwa sebagai upaya objektifikasi terhadap perempuan dengan titel matahari, secara liberal saya umpamakan sebagai point of view dari Icarus pasif, -jika, ia lebih sudi nyebat dengan Daedalus, -bapaknya, ketimbang mengejar matahari.

namun jarak yang kutempuh
tak membuatku lebih dekat lagi denganmu

ceritakan padaku indahnya keluh kesahmu
sebelum angin senja membasuh jauh

tetaplah di istanamu langit yang biru kelabu
biarlah rinduku kusimpan bersama mimpiku

Dalam skenario ini, Icarus pasti sampai dengan selamat ke Sisilia, ditambah kepuasan berdialog dengan matahari. Disini Icarus tahu diri, bahwa sayap dari bapaknya bukan untuk mencuri matahari, tetapi mencukupi kebutuhan perjalanan menuju kebebasan.

Pada lagu kedua, Iron Maiden melakukan reka ulang tragedi kejatuhan Icarus melalui narasi ketiga dan pertama dari Icarus sendiri. Sebagai catatan pribadi, lagu ini merupakan godam yang begitu kuat sampai saya tidak bisa meletakan ekspresi yang lebih bermoral selain; ah, tai.

Now the crowd breaks and a young boy appears
Looks the old man in the eye
As he spreads his wings and shouts at the crowd
In the name of God my father I fly.

His eyes seem so glazed
As he flies on the wings of a dream.
Now he knows his father betrayed
Now his wings turn to ashes to ashes his grave

Icarus yang malang, -jika tidak dibilang ceroboh. Begitu lupa daratan, Icarus memberontak pada kebesaran sang bapak, mencoba meraih matahari untuk mengalahkannya. Pada akhirnya ia bicara tentang kebencian, dan berjarak begitu rupa dengan hal yang ingin dia kenali. 

Icarus oh Icarus,
mengapa engkau berusaha
memeluk matahari
hanya untuk jatuh
seperti seorang keparat

Astaga, oh astaga
mari berkompromi
selagi doa ibu menyertai
dan Tuhan masih menaruh hati

Baiklah, ayo mulai lagi.

Friday, February 26, 2016

About Clone


Jika menyimak film sci-fi bertema Cloning, hal yang paling ingin saya lihat adalah bagaimana clone bereaksi satu sama lain. Apa yang terjadi jika satu ingatan berbincang-bincang? Apakah mereka akan saling memuji ketampanannya, atau saling meludah? Dulu, hal ini saya dapatkan dari acara Naruto jika si bocah rubah itu melakukan kage bunshin no jutsu lalu adu gebuk. Kemudian yang paling mengena pada The 6th Day dimana Arnold Schwarzenegger secara jenaka bersekutu dengan klonengannya. Namun saya tidak kenyang dengan penggambaran itu, keduanya menceritakan chemistry antar clone dengan cara yang kurang menantang seperti teman dekat. 

goks bro

Wednesday, February 24, 2016

Repeat, then Juxtaposition

Bukan entry yang umum, tetapi bagi saya cukup menarik menyangkut kreativitas improvisasi.

ILK atau Indonesian Lawak Klub, ternyata cukup unik setelah saya saksikan sepotong di warkop. Agenda ILK mencoba menghangatkan isu terbaru secara ringan tanpa tendeng alih konklusi yang kasar. Kekuatan terbesarnya muncul dari kepiawaian pelawak veteran yang mengisi acara guna menjaga flow komedi agar tetap berjalan.

22 februari, ILK membuka topik tentang censorship, dengan salah satu gadis pengisinya Tasya.


(08.10-09.45)
Pada suatu titik Tasya turun pendapat tentang foto sensor sapi yang sedang  diperah. 
Menurutnya, 1. foto itu tidak perlu disensor karena sapi tersebut adalah sapi jantan. 

Tidak ada yang tertawa. Sangking tidak lucunya, wajah saya menciut karena ikut malu sambil mengingat lirik 'berdoalah sebelum kita tidur'. 

Lantas, Jarwo Kuat yang duduk di sebelahnya secara inisiatif merespon lelucon itu dengan 2 argumen:
2. Menyatakan apresiasi terhadap sapi betina yang bersedia diperah setiap hari tanpa minta dikawini
3. Menyalahkan Tasya karena membuat leluconnya menjadi tidak lucu

Tawa saya meledak habis. 
Bukan menertawakan (1) garingnya Tasya, tetapi (3) punchline akhir yang dilontarkan jarwo begitu efektif setelah dia sendiri melontarkan (2) lelucon garing untuk membantu Tasya dengan memperlihatkan bahwa pelawak juga dapat gagal melucu. 

Tuh kan, jadi ngga lucu gara-gara lu.
Statement ini membongkar usaha melucu dari Tasya sekaligus menghapus dosa lelucon gagalnya. 

Ada dua comedic device disini, Repeating dan Juxtaposition. Pertama Jarwo mengulangi lelucon murah dengan konteks 'sapi' dan 'perah'. Combo dari dua lelucon ini berlanjut pada Juxtaposition gag, atau instrumen komedi dengan elemen perbandingan. Tasya bukan pelawak, sementara Jarwo Kuat sudah menjadi komedian kredibel sejak sinetron tahunan PPT. Prinsipnya, semakin kontras kedua elemen yang bekerja, punchline yang muncul juga semakin efektif. 

Dua argumen pertama yang tidak lucu membuat argumen ketiga menjadi pecah. 
Dua figur yang merupakan pelawak dan bukan, memperkuat lelucon itu sendiri.

Pada komendi ping-pong seperti duet presenter radio, komedi kartun, dan sebagainya, hal ini lumrah dengan kontras yang tidak sesignifikan itu. Baik karena scripted, maupun figurnya. Namun pada scene diatas, saya terkejut karena tidak melihat kemungkinan lanjutan dari lelucon pertama. Bagi saya, improvisasi Jarwo merupakan reaksi yang mantap; ulangi, dan pecahkan.

Thursday, February 4, 2016

Antara jurnal dan data


Udah ganti tahun saja. Pengen nulis vs mengurangi tulisan baper bikin saya berfikir 5 kali sebelum menulis. Alhasil, 2 bulan kosong. Nah kan baper lagi.

Ehm,

Ekskursi merupakan ritual adat atau rites of passage dari salah satu suku yang bermukim di depok, yakni mahasiswa arsitektur UI. Seperti tahun-tahun sebelumya, Ekskursi punya buku. Buku ini naik cetak sebagai usaha pengarsipan budaya arsitektural suatu suku di pedalaman Indonesia, pengamatan ruang dalam perjalanan, serta refleksi mahasiswa. Umumnya, refleksi berkisar tetang betapa insignifikannya pengetahuan kami dalam perjalanan ini. Tentu saja, Pure architecture yang terbentuk tanpa kompromi ekonomi dan politik NKRI akan sulit untuk dijelaskan secara objektif oleh mahasiswa yang masih bingung dengan judul skripsinya sendiri. Akhirnya banyak sesal terselip dalam beberapa buku.

Ekskursi Arsitektur UI 2014; RIMBA: Menapak Jenggala

Ekskursi Arsitektur UI 2013; Tanah Airku, Air Tanahku

Thursday, December 3, 2015

Pergi



Kakek pergi jumat lalu. 20:29 WIB. Diantar banyak orang. 
Kali pertama menyaksikan seseorang merengang nyawa, jelas menjadi bekas. 
Malam itu kali pertama saya menengoknya, berencana untuk menginap jaga. Tak rejeki, kata paman saya sambil tertawa. Beliau selalu tertawa. Paman saya orang yang bahagia.

Perginya damai. Seperti senja ditelan laut. Ini sama sekali tidak berlebihan. Sebab setelah itu semua hening, tidak ada orang meraung, tidak ada drama. Kakek sendiri, bukan pecinta drama. Yang punya Anna Karenina itu eyang, sementara kakek membaca Tan Malaka. Beliau tidak memberi ucapan terakhir atau hal-hal romantis. Seperti yang berkesudahan, kakek pergi seperti beliau hidup dalam kesehariannya; tenang.

Kakek seperti tidur, tetapi perutnya tidak bergerak. Saya tahu, saya suka mengawasi kakek saat tidur.
Semua tahu, semua suka melihat kakek saat tidur.

Banyak yang saya sesalkan. Belakangan saya jarang mengobrol dengan kakek. Padahal, jika ditanya hal lampau, beliau pasti ingat. Selalu ada yang bisa dibicarakan. Utamanya perang dan jepang, pegawai negeri, dan Tan Malaka. Hingga bermain gundu bersama anak Soekarno dan menangkap capung di kampung. Selasa itu kakek masih bisa bicara, jumat pada kondisi kritis ia tak lagi bisa berkata. 

Tentu seorang kakek punya pengaruh. Kadang lebih menohok daripada sosok bapak di waktu tertentu. Apresiasi dari seorang kakek harganya lebih tinggi. Akibat jarangnya bertatap muka (dan tentu saja hirarki). Nasihatnya (terasa) lebih berisi, karena akibat yang sama. Ceritanya panjang dan berwarna. sebab usia memberi bobot pada pengalaman. Wajahnya terasa tak pernah berubah. Kakek sudah tua sejak saya lahir. Tanpa rasa berproses, saya akan mengingat satu wajah yang sama selamanya. 

Beberapa tahun belakangan kepikunan kakek memuncak. Menurut saya, rasa sayang dapat dilihat dari absennya bosan. Kakek selalu bertanya hal yang sama setiap hari. mengulang rutinitas yang sama. Eyang demikian, hal pertama di pagi hari setelah mencuci muka, beliau menyiapkan obat untuk kakek, tanpa terkecuali, dan hanya beliau yang boleh mengurus hal itu. Semua keluarga (jika berkunjung), akan menjawab pertanyaan kakek tanpa bosan, bukan atas nama sopan santun. Lalu mengobrol tentang hal terkini yang nantinya harus diulang kembali, seperti pertama kali. Maka menurut saya, tulen semua orang menyayangi kakek. 

"saya sudah kuliah, kek"

Saya ingat beberapa hal tentang kakek. Buku pemberian pertamanya Seri tokoh dunia; Isaac Newton. Lalu ensiklopedia tentang komet Halley (yang hingga kini saya ingat, 2061 akan datang kembali), lalu kumpulan soal matematika, dan kartun fisika. Beliau menelpon setiap sore setelah seri Gengish Khan tayang, membahasnya. Kedatangannya saat saya disunat. Menyarankan bapak membelikan saya motor agar mau masuk kelas IPA di SMA. Hingga hari-hari dimana beliau duduk di teras untuk membaca koran dan kegemarannya melihat container diangkut pelan di depan rumahnya. Rangkumnya, dunia sekarang damai.

Eyang bersedih sebentar. Sebelum kembali menghitung ulang biaya pengobatan. Seperti tak ada bekasnya. Semua rutinitas obat di pagi hari, berbagi jeruk di meja makan, pemeriksaan gula darah, berhenti. Namun eyang tetap bergerak. Semua seperti telah melepas. Sepupu kecil tidur di ranjang kakek. Yang cukup besar bicara melingkar. Para orangtua duduk di depan. Pembicaraan tentang kakek minimal pada batas aktual. 

Tapi hari itu rumah bolong.

Sunday, November 1, 2015

Perompak


Jika kualitas konsumsi bacaan yang beredar bisa menandai jenis ekonomi yang bekerja di suatu masyarakat, sekasarnya saya bisa bilang memang Indonesia terkesan kapitalis (sebagai orang muda, saya punya hak paripurna untuk sok emosi). Sebab, seperti kesal saya di postingan lain, buku bagus tidak terjangkau (mahal, jendral). Atau distribusinya tidak merata (jauh, jendral). Padahal butuh. Sehingga, saya hendak berbagi jalur tembus untuk membaca secara maya. (yang di Dublin pasti misuh-misuh).

Kamu perlu:
1. Menyebut nama yang maha kuasa untuk mencegah dosa.*opsional
2. Calibre dan/atau FBReader
3. Website unduh 
4. Referensi membaca

Saturday, October 10, 2015

Seize(d)



Saya pernah bertanya pada paman saya. Buat apa sholat berjamaah kalau (1) khotibnya ceramah tentang hal-hal yang berulang, atau kadang isinya mendiskreditkan agama lain (2) jemaatnya hanya datang untuk numpang berucap amin pada doa-doa imam sambil ngantuk-ngantuk. Padahal solat sendiri bisa, dan lebih khusyuk. Sebagaimana orang tua yang berbahagia, beliau menjawab bahwa beliau datang ke masjid tanpa prasangka, dan menganggap semua orang yang datang kesana niatnya baik. Karena niatnya seragam, doanya lebih khusyuk.

Saya bingung, waktu itu.

Tanpa memahami istilah zeitgeist, genius loci, maupun pengalaman ruang, paman saya menyadari betul dalam bahasa yang praktis bahwa sholat berjamaah merupakan ritual untuk mencapai kedamaian secara kolektif. Artinya, pergi ke masjid bukan untuk memperkuat doa sendiri, tetapi berpartisipasi dalam doa bersama. Doa bersama lantas menciptakan suatu atmosfir religius yang merujuk pada efek damai. Dan rumah ibadah, dirancang untuk merangkai atmosfir tersebut. Urusan kekhusyuk-an seseorang di dalam masjid bukan tugas khotib di atas mimbar, tetapi urusan yang bersangkutan untuk berserah pada ‘ruang’. Jika ada orang pulang tanpa merasa lebih baik setelah ibadah bersama, berarti dia salah menggunakan tempat ibadahnya.