Kuntoyo. Bukan kuntowijoyo. Bukan Kunti makarti.
Aku ingat pasca ia merengang nyawa. Sudah berbalut batik motif megamendung dan merentang pelak gagal meneruskan hari. Diciprat-ciprat airmata dan doa. Ia diam sempurna. Menunggu entah apalagi.
Sialan, pikirku. Sial betul ongkos terbuang hanya menyaksikan ia hendak dibopong kedalam mobil jenazah.
Kuntoyo, namanya. Mengajar di SD pinggiran yang siang bolong simsalabim jadi SMA terbuka. Tadinya mengajar murid kelas 6. Seusai angkatanku, turun mengajar murid kelas 4. Akibat serangan stroke saat menulis SPOK ditengah murid kelas 6. Konon katanya ia tiba-tiba mengerang dan mengejang, kapur ditangannya acuh dilepas sebelum orang-orang menampiknya. Kapur itu, konon nyawanya, bergantung keberlepasan jiwanya. Tak ia lepas, ia selamat. Ya, ya.
Kelas 6 kami bertemu. Ia guruku. Mengajar sebagaimana petani meniti padi. Ia berkisah, tentang cinta masa muda dan usaha-usaha. Ia juga berkisah, suatu waktu dan suatu tempat. Lupa aku, ia bercerita begitu banyak. Namun ingat aku, ia selalu akhiri dengan harap-harap kami menghitung gaji pertama sambil mengeja namanya. Ya, ya.
Aku ingat matanya mendelik merah-marah saat kudurhakai dengan polah tingkah di kelas, matanya menyata marah cemas kuatir gagal. Aku ingat matanya bersukacita saat kubagi sekaleng minuman dingin kala pekan tamasya bersama sekolah. Aku ingat matanya. Aku ingat gigi tak lengkapnya. Aku ingat tepukannya. Aku ingat.
Gara-gara dia, aku sekolah jauh-jauh. Motor bebeknya menggiring ijazahku masuk kantor sekolahan nomor dua dari depan. 8 kilometer jaraknya. Bagus katanya, tidak apa jauh sedikit. Ia ingin mengaju ke kantor sekolah nomor satu, tapi terlalu jauh, bensinnya tak cukup. Panggil dia bapakmu juga, kata bapak asliku, sebab ia lebih awasi pendidikanmu daripada aku.
Gara-gara dia, aku sekolah jauh-jauh. Lalu semakin jauh. Lewati garis kota.
Mimpibesar-dusta-monyet-janji-kesempatan-bukamata-mampumbaca-bahagia
Aku ingin bicara. Ingin bertanya. Ingin menyata. Tapi nantilah, kupikir.
Tailah, nantilah. Kupikir.
Kupikir, nanti, kupikir.
Kupikir.
Setahun silam, ia meninggal dalam kabar. Konon katanya lagi-lagi serangan stroke di kelas. Digugat, angka 4 jadi angka keramat. Kabar itu turun saat aku tinggal sejengkal dari peraduan, seberpulang dari jakarta. Aku balik badan kembali ke ibu kota. Naik bus dalam kantuk setengah mati. Lampu jalan berlari mundur. Aku ingat ia punya kapur. Lepaskah?
8 tahun tak kutemui dia. Konon tahu-tahu merenggang nyawa di dalam kelas.
8 tahun tak ku berkabar. Tahu-tahu ia protes dengan henti bernafas.
8 tahun tak bersua. Kami bertemu dalam bungkam.
8 tahun. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Ia hendak dibopong. Ia meninggal siang bolong, dimandikan sore, dihantar doa magrib, dan hendak dikembalikan ke bumi, esoknya, katanya. Jadi aku tidak bisa bertaut pandang. Sebab mobil jenazah sudah mau pulang.
Sial kau pak. Sialan.
Sumpah mati aku rindu bapak.
Sumpah. mati. pak.
mati. pak.
pak.
Aku ingat pasca ia merengang nyawa. Sudah berbalut batik motif megamendung dan merentang pelak gagal meneruskan hari. Diciprat-ciprat airmata dan doa. Ia diam sempurna. Menunggu entah apalagi.
Sialan, pikirku. Sial betul ongkos terbuang hanya menyaksikan ia hendak dibopong kedalam mobil jenazah.
Kuntoyo, namanya. Mengajar di SD pinggiran yang siang bolong simsalabim jadi SMA terbuka. Tadinya mengajar murid kelas 6. Seusai angkatanku, turun mengajar murid kelas 4. Akibat serangan stroke saat menulis SPOK ditengah murid kelas 6. Konon katanya ia tiba-tiba mengerang dan mengejang, kapur ditangannya acuh dilepas sebelum orang-orang menampiknya. Kapur itu, konon nyawanya, bergantung keberlepasan jiwanya. Tak ia lepas, ia selamat. Ya, ya.
Kelas 6 kami bertemu. Ia guruku. Mengajar sebagaimana petani meniti padi. Ia berkisah, tentang cinta masa muda dan usaha-usaha. Ia juga berkisah, suatu waktu dan suatu tempat. Lupa aku, ia bercerita begitu banyak. Namun ingat aku, ia selalu akhiri dengan harap-harap kami menghitung gaji pertama sambil mengeja namanya. Ya, ya.
Aku ingat matanya mendelik merah-marah saat kudurhakai dengan polah tingkah di kelas, matanya menyata marah cemas kuatir gagal. Aku ingat matanya bersukacita saat kubagi sekaleng minuman dingin kala pekan tamasya bersama sekolah. Aku ingat matanya. Aku ingat gigi tak lengkapnya. Aku ingat tepukannya. Aku ingat.
Gara-gara dia, aku sekolah jauh-jauh. Motor bebeknya menggiring ijazahku masuk kantor sekolahan nomor dua dari depan. 8 kilometer jaraknya. Bagus katanya, tidak apa jauh sedikit. Ia ingin mengaju ke kantor sekolah nomor satu, tapi terlalu jauh, bensinnya tak cukup. Panggil dia bapakmu juga, kata bapak asliku, sebab ia lebih awasi pendidikanmu daripada aku.
Gara-gara dia, aku sekolah jauh-jauh. Lalu semakin jauh. Lewati garis kota.
Mimpibesar-dusta-monyet-janji-kesempatan-bukamata-mampumbaca-bahagia
Aku ingin bicara. Ingin bertanya. Ingin menyata. Tapi nantilah, kupikir.
Tailah, nantilah. Kupikir.
Kupikir, nanti, kupikir.
Kupikir.
Setahun silam, ia meninggal dalam kabar. Konon katanya lagi-lagi serangan stroke di kelas. Digugat, angka 4 jadi angka keramat. Kabar itu turun saat aku tinggal sejengkal dari peraduan, seberpulang dari jakarta. Aku balik badan kembali ke ibu kota. Naik bus dalam kantuk setengah mati. Lampu jalan berlari mundur. Aku ingat ia punya kapur. Lepaskah?
8 tahun tak kutemui dia. Konon tahu-tahu merenggang nyawa di dalam kelas.
8 tahun tak ku berkabar. Tahu-tahu ia protes dengan henti bernafas.
8 tahun tak bersua. Kami bertemu dalam bungkam.
8 tahun. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Ia hendak dibopong. Ia meninggal siang bolong, dimandikan sore, dihantar doa magrib, dan hendak dikembalikan ke bumi, esoknya, katanya. Jadi aku tidak bisa bertaut pandang. Sebab mobil jenazah sudah mau pulang.
Sial kau pak. Sialan.
Sumpah mati aku rindu bapak.
Sumpah. mati. pak.
mati. pak.
pak.
Masih bapak bangga dengan saya?