Monday, April 27, 2015

Tolong

TOLOOOOOOOOOOOOOONG!

Teriakan itu melayang jauh menuju sebuah pasar kecil di pengkolan jalan depan pabrik roti dan sekolah dasar. Suaranya tercecer dan serpihannya merambat ke telinga seorang pencacah daging yang sedang mengiris ayam kecil-kecil untuk dibungkus dengan plastik hitam.

“lho suara siapa itu?” 


“ngga tahu mas” kata ibu yang menunggu cacahannya “eh kepalanya jangan dibuang”

Disisi lain pasar, suara itu mampir ke telinga penjaja gorengan.
“mas tadi denger orang minta tolong?” ucapnya sambil mengelap leher.
“iya siapa dan darimana asalnya ya” ucap pedagang sayur.
“sepertinya wanita, atau pria, tapi dari sini lebih jelas” jawab penjaja gorengan.
“lho, bukan masalah jelasnya, tapi dimana” susul seorang supir angkot yang sedang merokok.
“ya dimana saja bisa, yang penting terdengar” jawab pedagang sayur.
“lho, kalau cuma terdengar gimana bisa ditolong” sanggahnya lagi.
“lho, memang itu suara minta ditolong?” potong seorang ibu-ibu sambil menjinjing belanjaannya.
“iya bu, biasanya orang minta tolong begitu bunyinya”
“saya kok ngga yakin, ya habis sudah ga jaman minta tolong seperti itu.” Ucapnya lurus sambil membayar belanjaan. Pas tanpa kembalian.
“Maksud ibu?” ucap penjual sayur.
“Apa-apa harus disiapkan baik-baik dong, kalau butuh bantuan harus sudah punya backup. Kalau tidak bisa berabe hidup ini. Kalau mendadak begitu berarti dia yang punya salah. Sampeyan yakin itu bukan tolong dari suara televisi?” Tanya ibu itu pada penjaja gorengan, diiringin ‘he eh’ dan ‘betul’ dari ibu-ibu lainnya.

“begini-begini saya bisa membedakan suara orang dengan alat elektronik bu. Saya kan selalu ke masjid jika adzan berkumandang” ucap pedagang gorengan yakin. Orang-orang, terutama kaum lelaki, manut-manut membenarkan.

“ah masa. mas, mas, coba kamu minta tolong” panggilnya pada seorang lelaki yang sedang berjongkok di etalase warung.
“kalau saya pasti nanya dulu bu, ‘permisi ada waktu’, begitu”
“tuh kan, mana boleh sekarang orang minta tolong melantang begitu. Kita kan jaman damai” ujar ibu itu puas.
“tapi ini kan darurat bu”
“lho tahu darimana darurat”
“kalau tidak darurat ya pakai basa-basi dulu”
“dih, saya kan cuma bermaksud sopan bukan basa basi” ucap pemuda itu sambil melengos misuh-misuh.

“sudah sudah, jadi darimana asal suaranya?”
“saya rasa karena terdengar disini bisa jadi pelakunya ada di sekitar sini”
“iya nih bagaimana sih, minta tolong kok sembunyi-sembunyi”
“ya sudah, mari kita cari”

Seketika orang-orang mulai mencari. Kegiatan di pasar berubah seketika. Yang jual beli berhenti, yang hendak mencopet mencolek untuk bertanya, yang menganggur bangun dan mulai berkeliling. Semua orang ingin terlihat punya andil dalam kejadian ini. lima, sepuluh, tiga puluh menit berlalu pencarian tidak membuahkan hasil. Orang-orang mulai cemas bahwa mereka bersia-sia.

"wah gimana nih ngga ada yang ngaku"
“sebentar saya ada ide” ucap seorang yang dituakan.
“Bagaimana?”
“kita tes satu persatu, siapapun yang memiliki suara sama dengan teriakan tadi pasti pelakunya” jawabnya yakin.
“Tapi itu buang waktu, tenaga, tidak hemat dan tepat sasaran. Mengapa kita tak cari kembali suara itu di tempat lain” ucap seorang pemuda pengangguran lain.
“He, kamu punya rencana?” tanya orang tua.
“Ya cari di tempat lain” jawabnya.
“He, tempat lain itu perkara lain. Disini ya disini. Yang penting kan ada konsep dan rencana, masalah selesai atau tidak yang penting sudah berusaha dan dilakukan! Jangan cuma jadi wacana!”
Pemuda itu diam.
“He, kamu punya rencana?” tuntut orang tua itu lagi.
Pemuda itu diam.

“Sah!” labrak seorang berseragam hansip yang dianggap gila karena sejak 2014 kemarin satuan hansip telah ditiadakan.

lantas orang-orang mulai berbaris untuk melakukan uji coba, yang enggan tetap berbaris. Orang-orang yang baru datang ke pasar terpaksa ikut berbaris walaupun tiada yang meminta. Mereka tidak mau dianggap tidak kolaboratif, jadi membungkam. Penilaian suara itu dilakukan oleh orang yang dituakan, hansip, dan tukang cincang yang pertama mendengar. Mereka berunding dengan tangkas, lalu menyilakan orang selanjutnya untuk maju.

Matahari meninggi, panas meranggas, pasar diwarnai suara tolong yang rupa-rupa. Karena pekik tolong ini hanya uji coba, volumenya diperkecil, cukup hingga dari ujung ke ujung pasar. Biarpun tampak mulus, ternyata uji coba ini menelurkan banyak masalah, mulai dari ruang antrian yang tak cukup, kemiripan suara yang sulit dipilah, dan keinginan orang-orang untuk bertolongan dengan caranya sendiri.

“lho suaramu mirip, kamu ya?!”
“eh pak bukan, saya sedang sakit tenggorokan”

“Pak tolonglah saya didahulukan, anak saya dirumah sakit”

“pak mohon pengertiannya, besok saya ada audisi idola Indonesia, saya tidak boleh buang-buang suara”

“pak ini kok nomor antrian uji coba saya sama dengan mas ini, jadi siapa duluan?”

“pak saya pakai suara fals atau minor?”

Uji coba dilakukan hingga larut malam, orang-orang terus berdatangan, barisan menipis menjelang pagi berikutnya.

Seorang anak lelaki terus-menerus menyilakan orang mendahuluinya, ia berjungkit ke belakang diam-diam. Hingga akhirnya pagi menampak dan barisan habis ternyata ia enggan memperagakan teriakan tolong. Ia seorang bisu karena trauma yang diderita 3 tahun silam. Ia nyaris mati tersedak biji salak saat menonton film horor semi porno, entah kaget entah terpana. Karena panik, ibunya terpelanting dan jatuh dengan kepala menghantam meja, bukan sudutnya. Beliau tergeletak seketika seperti sebongkah pelepah pisang. Karena kaget mendengar debum yang tampak membinasakan itu biji salaknya tertelan bulat-bulat. Ia berlari meninggalkan rumah sebelum diusir, tak memeriksa ibunya melepas nyawa atau tidak. Ayahnya sedang mencuci mobil, adiknya tengah tidur siang. Ia tidak pernah menengok kebelakang, tidak pernah menangis, tidak pernah lagi bicara. Tidak ada yang tahu kebisuannya selama ia bekerja dengan baik. Tidak ada yang bertanya kepadanya selama ia tidak menawarkan diri untuk bicara. Dia yang menjaga kepalanya rendah cukup tersenyum dan mengangguk, maka perutnya akan tetap terisi, sedikitnya terisi biji salak, begitu pikirnya. 

“Sudah, kamu mengaku saja! iya, jangan pura-pura.Wah kamu ini bikin PR saja. Hayo tanggung jawab! Gimana sih kamu kan laki-laki!” Ucap beberapa orang, kompak, tiba-tiba, dan bertubi-tubi.

Dia mencoba berisyarat, tetapi karena kesehariannya sebagai kuli panggul hanya menuntut diam dan turut, kosa-isyaratnya terbatas hanya pada menunjuk mulut, pundak, karung beras atau nasi, serta menggesek jarinya untuk menyimbolkan upah. Hal ini memancing emosi karena ia melakukannya sambil tersenyum lebar-lebar.

“Eh dia minta duit! Nyengir lagi! eh dia malah ngeledek! minta dihajar ya? Wah bisa-bisanya” Ucap beberapa orang yang sama dengan sebelumnya, kompak, tiba-tiba, dan bertubi-tubi.

Dia menunjuk mandor yang mempekerjakannya untuk minta keterangan.
“Loh kok nuduh saya? Setan, sudah diberi kerja malah nusuk.” Ucapnya sambil mendorong mundur anak itu.

“Bukan dia, mandor itu sudah tes tadi. Kamu yang belum!”

Pembicaraan semakin sengit. Aroma emosi yang membuncah membuat orang merapat mengelilingi anak lelaki itu. Anak itu masih bungkam. Kala menciut semakin lekat ingatannya dengan biji salak. Ia kadang merasa ada dua jakun yang mengisi lehernya setiap kali mengalami sesuatu yang membahayakan. Sayangnya tidak ada orang yang paham bahwa ia bisu, mereka telah percaya bahwa anak itulah pelakunya, bungkamnya membuktikan bahwa suara tolong yang merepotkan itu pasti miliknya, lagipula mana ada maling mengaku.

“Kamu ini masih muda bikin perkara. Orang tuamu mana sih?!”
“Sudah bawa ke kantor polisi saja”
“Keenakan!”
“Lalu?”
“Hajar saja dulu! Tapi pelan-pelan, biar tidak dituduh main hakim, kita kan niatnya memberi pelajaran.”

Orang-orang itu menyesak. Mula-mula menoyor kepala si anak lelaki, lalu tangan itu mengganda. Orang-orang mengantri dan merapat kembali, seakan hendak ambil bagian untuk punya bahan cerita ketika pulang ke rumah atau mampir di warung kopi. Lalu gerakan itu semakin cepat, dan entah siapa yang memulai, sebuah pukulan jatuh di perut si anak lelaki. Pukulan pertama itu (selalu) menghalalkan hantaman lain di berbagai bagian tubuhnya.

Antara sadar dan tidak ia terus bungkuk. Matanya berkejap dan ia melihat ke tanah. Ia merasa tidak percaya, biji salak itu telah jatuh bersama muntahan darah pertamanya! Seketika ia merasa lega, sebab ia mampu kembali bicara. Namun bakbuk yang semakin rapat menghalanginya berkata-kata. Hingga akhirnya muncul celah untuk bernafas, ia mengumandangkan kata pertama yang harusnya dilantangkan 3 tahun satu hari tiga puluh menit silam:

TOLOOOOOOOOOOOOOONG!

Teriakan itu melayang jauh menuju sebuah pasar kecil di pengkolan jalan depan pabrik gula dan terminal. Suaranya tercecer dan serpihannya merambat ke telinga seorang pencacah daging yang sedang mengiris ayam kecil-kecil untuk dibungkus dengan plastik hitam.

“lho suara siapa itu?”