Buku itu mahal. Buku bagus apalagi.
Hal ini menyebabkan sulitnya membaca, sebab membaca jadi butuh biaya.
Setelah mulai rajin membaca, saya ke toko buku dengan maksud yang baik. Melihat harga buku yang setara dengan ongkos makan seminggu lebih, saya jadi jengah. Padahal buku itu kembali diterbitkan melihat atensi pasar yang tiba-tiba muncul hanya karena sesosok role-model sempat menyipratkan judulnya. Keparatnya, judul yang disebutkan harganya melonjak menjadi lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Jika hal ini menyangkut teori umum ekonomi tentang product and demand dimana untuk menyeimbangkan permintaan maka harga dinaikan, maka menurut saya ini omong kosong. Sebab, persebaran sebuah buku sebagai entitas pengetahuan jauh lebih mudah ketimbang sebungkus nasi atau sekilo cabai.
Ditambah dengan cover art yang diganti "lebih menarik" atau lebih dikenal oleh pasar (Contoh, film adaptasinya), pengantar si-anu, komentar si-anu, atau jenis hard cover dan kertasnya. Bagi saya, karakter si buku di masyarakat juga dicerminkan oleh muka dan tempelan sana-sininya. Jika buku banyak ditemploki ini dan itu yang baru, maka ia telah melewati proses seleksi pasar menjadi buku pasaran, dari canon menjadi mainsteram, dari bekas banned menjadi produk kapitalis, dari wajib menjadi umum(ini baik). Ini interpretasi rapuh akibat kzl habis-habisan, dan ini urusan yang berbeda.
Kalaupun hendak membaca di perpustakaan, hal yang harus dibayar adalah waktu dan tenaga, dan belum tentu perpustakaan menyediakan bacaan yang dibutuhkan/diinginkan. Dan lagi perpustakaan tidak mengizinkan pengunjungnya membaca hanya menggunakan kolor dan singlet seperti saya atas dasar kenyamanan. Dan lagi, perpustakaan bisa tutup, tidak seperti rental PS yang bisa nambah waktu bermain. Kebetulan perpus yang saya datangi tidak mengizinkan koleksinya dibawa pulang. Ah.
Meminjam teman diluar pertanyaan. Ada konsekuensi yang bisa melibatkan darah dan air mata jika halaman buku terkena kuah soto, atau terlipat, atau kekuningan. Paling sedikit hilangnya rasa percaya untuk (di/me)meminjam(kan). Lagipula, menemukan buku yang baik diantara suatu komunitas terbilang sulit, kebanyakan juga orang-orang mengalami nasib dipinjam dan dilupakan terhadap buku-buku kesayangannya, sisanya cukup segan. Sebab itu, saya jadi jarang meminjam. Selain saya suka lupa mengembalikan, saya juga sering lupa meminta kembali. Kadang-kadang saya malah meminjamkan buku orang lain. Maaf.
Sebab itu, saya mulai mengumpulkan ebook dari buku-buku yang hendak saya baca, walaupun membaca di ebook lebih rawan jenuh ketimbang lewat buku kertas. Tidak bisa membaca di wc, stasiun, dan tempat-tempat tanpa charger. Mata cepat lelah, punggung cepat pegal, tidak ada aroma kertas yang menawan, tidak ada ritual lipat buku dan menjilat jari untuk mengganti halaman, tidak ada suara kertas mengibas. Padahal, menurut saya ritual tersebut masuk dalam proses penghayatan untuk menyatukan diri dengan dunia buku, therefore; enhance understanding power. Bisa dibilang argumen saya ini lantaran alasan malas atau belum terbiasa, tapi pada akhirnya kegiatan ini bukan kegiatan yang sehat. Apalagi menyenangkan. Ah.
*Dan laptop tidak bisa seenaknya dilempar ketika kita kesal membaca buku yang ternyata menyebalkan.
Jika buku itu dirasa melelahkan untuk dibaca karena tebal halamannya dapat digunakan untuk menghantam orang hingga pingsan, maka saya mencetaknya sendiri, atau membeli versi bajakannya di pasar loakan. Tentu, dengan segala perasaan berdosa sejadi-jadinya, apalagi jika buku itu memang bagus. Jadi teman saya harusnya mengerti, mengapa saya begitu jumawa saat menemukan buku baik asli dengan harga super miring di toko loakan.
Namun apa boleh buat. Sehingga, paling sedikit yang bisa saya lakukan adalah tidak meminjamkan buku cetak-bajak ini kepada orang lain (jika lupa tidak bertandang). Pembelaannya adalah saya sedang 'meminjam' untuk membaca sendiri, dan bilamana memang buku itu menyentuh, pastilah saya beli yang asli.
Nanti.
Ah. Kontol.