Senja
ini (dalam ukuran mahasiswa Arsitektur), seperti biasa kala berkesempatan, saya
duduk besama dua teman untuk membicarakan banyak hal. Hal-hal ini menurut
ukuran umum disebut omong kosong, karena resultannya nol. Ritual bicara ini
tidak memiliki orientasi dan protokol layaknya rapat pembinaan, dan kami setuju
bahwa apa yang kami bicarakan hanyalah manifestasi primodial dari semangat pemuda
kemarin sore untuk beringsut dengan galau. Kami setuju bahwa ada orang yang
mengisi kepemudaannya dengan semangat kritisisme, yang disebut non-conformist,
dan ada yang mengisinya dengan sikap disiplin dari struktur yang mengaturnya
atau conformist. Pengecapan non-conformist bahkan tampak mewah bagi kami, yang
masih tidak tahu dimana kaki dan kepala sendiri saat bangun tidur. Ini malu
nomor satu.
Sehingga,
apa-apa yang terucap adalah sekaligus asap dan api. Asap yang mewujud
ketidakpahaman dan api yang muncul dari keingintahuan. Kopi herbal Nugi, (yang
saya acungi jempol) mendorong mulut untuk bicara. Bicara, dan bicara. Ada yang
penting dan tidak penting, lalu dipentingkan sebab kami tidak yakin hal
tersebut tidak penting atas nama relevansi keseharian. Intensitas bicara yang
semakin banyak mungkin tidak menyuarakan jumlah kebenaran, tapi malah menampakan
jumlah pertanyaan. Sehingga kami sadar bahwa kami lebih banyak tidak tahu. Ini
malu nomor dua.
Menjelang
pagi (dalam ukuran pelolong adzan subuh) kami masih dalam pengaruh kopi yang
meracuni nadi. Kopi telah tandas dan ampasnya mengerak. Berbarengan dengan
munculnya suara kereta, layu corong masjid menyair lirih, dan gonggongan anjing
yang terbangun karena orang mulai lalu-lalang, setitik rasanya ada iman yang
tumbuh tentang sikap terhadap kegamangan. Jawabannya sederhana, mengurangi
gamang dengan berbuat dan bergerak. Ini jelas, empiris, dan faktual. Dengan
kata lain, klise. Jawabannya hadir lebih lama daripada waktu jamu sidomuncul
baru berdiri. Ini malu nomor tiga.
Ketiga
jenis kemaluan ini terjadi dari waktu ke waktu, saat saya duduk disini dan
pulang dari tebet untuk berpindah ke kamar Irwin. Namun saya suka, sebab saya
menyadari, ada beberapa hal progresif yang paling tidak terjadi menurut
keyakinan; 1. Ketidaktahuan kami mulai tersusun 2.Ketidaktahuan kami mulai
berbalas 3. Keingintahuan kami bertambah. Sore sudah hilang direbut pagi, tidak
banyak yang terjawab, tapi tidak ada penyesalan, karena kami bukan anggota
parlemen, atau peserta diskursus politik, atau forum aktivis, atau penanggung
jawab pembinaan mahasiswa baru. Tersesat dan kembali tapi tak lantas lupa,
segitu sederhana, segitu romantis, dan segitu berkesan, lantas malu menjadi
sepadan.