Monday, March 2, 2015

Malu tiga kali


                Senja ini (dalam ukuran mahasiswa Arsitektur), seperti biasa kala berkesempatan, saya duduk besama dua teman untuk membicarakan banyak hal. Hal-hal ini menurut ukuran umum disebut omong kosong, karena resultannya nol. Ritual bicara ini tidak memiliki orientasi dan protokol layaknya rapat pembinaan, dan kami setuju bahwa apa yang kami bicarakan hanyalah manifestasi primodial dari semangat pemuda kemarin sore untuk beringsut dengan galau. Kami setuju bahwa ada orang yang mengisi kepemudaannya dengan semangat kritisisme, yang disebut non-conformist, dan ada yang mengisinya dengan sikap disiplin dari struktur yang mengaturnya atau conformist. Pengecapan non-conformist bahkan tampak mewah bagi kami, yang masih tidak tahu dimana kaki dan kepala sendiri saat bangun tidur. Ini malu nomor satu.
                Sehingga, apa-apa yang terucap adalah sekaligus asap dan api. Asap yang mewujud ketidakpahaman dan api yang muncul dari keingintahuan. Kopi herbal Nugi, (yang saya acungi jempol) mendorong mulut untuk bicara. Bicara, dan bicara. Ada yang penting dan tidak penting, lalu dipentingkan sebab kami tidak yakin hal tersebut tidak penting atas nama relevansi keseharian. Intensitas bicara yang semakin banyak mungkin tidak menyuarakan jumlah kebenaran, tapi malah menampakan jumlah pertanyaan. Sehingga kami sadar bahwa kami lebih banyak tidak tahu. Ini malu nomor dua.
                Menjelang pagi (dalam ukuran pelolong adzan subuh) kami masih dalam pengaruh kopi yang meracuni nadi. Kopi telah tandas dan ampasnya mengerak. Berbarengan dengan munculnya suara kereta, layu corong masjid menyair lirih, dan gonggongan anjing yang terbangun karena orang mulai lalu-lalang, setitik rasanya ada iman yang tumbuh tentang sikap terhadap kegamangan. Jawabannya sederhana, mengurangi gamang dengan berbuat dan bergerak. Ini jelas, empiris, dan faktual. Dengan kata lain, klise. Jawabannya hadir lebih lama daripada waktu jamu sidomuncul baru berdiri. Ini malu nomor tiga.

                Ketiga jenis kemaluan ini terjadi dari waktu ke waktu, saat saya duduk disini dan pulang dari tebet untuk berpindah ke kamar Irwin. Namun saya suka, sebab saya menyadari, ada beberapa hal progresif yang paling tidak terjadi menurut keyakinan; 1. Ketidaktahuan kami mulai tersusun 2.Ketidaktahuan kami mulai berbalas 3. Keingintahuan kami bertambah. Sore sudah hilang direbut pagi, tidak banyak yang terjawab, tapi tidak ada penyesalan, karena kami bukan anggota parlemen, atau peserta diskursus politik, atau forum aktivis, atau penanggung jawab pembinaan mahasiswa baru. Tersesat dan kembali tapi tak lantas lupa, segitu sederhana, segitu romantis, dan segitu berkesan, lantas malu menjadi sepadan.

No comments: