Bikepacking adalah anak haram dari kawin silang antara backpacking dan cycling. Hasilnya yaitu suatu kegiatan bepergian ke suatu tempat dengan strategi backpacker dan alat transportasi sepeda. Tentu orang berkerut dahi membayangkan bagaimana backpacker, -yang selalu membawa carrier sebesar kulkas kemana-mana-, menjadi lebih sinting lagi dengan menggenjot sepeda sambil membawa kulkas kemana-mana. Agaknya memang kegiatan ini mirip dengan gejala masokisme atau kesenangan menyakiti diri sendiri.
Bikepacking sebenarnya sudah lazim, saat ini tercatat banyak orang yang mengabdikan betisnya liat-membulat akibat memutar pedal sepeda demi melintasi sumbu dunia. Saya tidak bercanda. Ada orang Jepang yang cukup sinting untuk berangkat mengelilingi dunia dengan total uang dikantong $3 dan sepeda butut, namanya Keiichi Iwasaki (Setelah sholat wajib, biasanya saya menyembah dia). Ada lagi orang bogor yang salah belok hingga ke mongolia dan cina. Orang bogor ini asli dan hafal pancasila. Ada juga lelaki paruh baya yang mengelilingi Indonesia dengan sepeda kumbang, juga orang bogor lainnya yang ikut serta menyambangi sabang-marauke dalam duet yang penuh romansa selama 2 tahun, namanya Cliff Damora.
Apa yang menarik dari bikepacking?
Mengenjot sepeda bermuatan kulkas dari terbit fajar hingga terbenam matahari merupakan suatu ritual yang bisa dibilang religius. Kita tahu semakin lama waktu tempuh dari titik a ke titik b, orang akan semakin menghayati perjalanannya.
Menghayati (verb)1. mengalami dan merasakan sesuatu (dl batin): kita semua harus ~ dan mengamalkan Pancasila;.
Proses mengahayati terlepas dari suka dan duka dalam perjalanan. Namun aspek utama dari penghayatan adalah kesadaran being in the moment. Ini pula yang ditemukan dalam kegiatan rohani dan meditasi. Seorang pilgrimage modern eropa mampu berjalan ratusan kilometer untuk suatu perjalanan religius dengan beragam alasan, utamanya berdamai dengan diri sendiri atau instannya sebuah pengalaman baru. Biar begitu, platform jalan kaki yang digunakan tetap menggunakan logika yang sama, bahwa dengan berjalan menyisakan lebih banyak waktu untuk berfikir dan menghayati.
Perbedaannya adalah, jika seorang pilgrimage berjalan sambil berdoa dalam pujian agar kiranya bertemu bisikan Tuhan di tengah jalan, seorang bikepacker akan menggenjot dalam cemas agar kiranya tidak kekurangan kios tambal ban ditengah jalan.
Aksi sama dengan reaksi. Dalam bikepacking orang dituntut untuk terus fokus untuk mengayuh sepeda. Sebab sepeda tidak akan bergerak jika tidak dikayuh, dan proses genjotan harus cukup seimbang agar cyclist tidak ngoyo dan sampai ke tujuan pada waktu yang ditentukan. Taktis berpindah ini harus semakin ditakar ketika melintasi tanjakan keji yang mengiris jiwa. Namun setelah mencumbu pelan-pelan kemiringan yang tak ramah, kita dapat mendefinisikan kembali arti dari kata 'bahagia' kala menikmati angin segar saat meluncur di turunan tanpa mengayuh sepeda.
Mencicipi ketulusan orang. Mochtar Lubis pasti tidak pernah melakukan bikepacking. Dalam catatan khotbahnya, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, beliau menyatakan kesejatian orang Indonesia yang terutama bersifat kurang tulus. Ini ditampik keras-keras dalam kegiatan bikepacking. Sesedikitnya, semua orang yang saya temui dalam perjalanan, pasti membekali senyum (tentu setelah berbengongan), atau menawarkan air, atau bahkan membungkuskan makanan.
Jika kita gabungkan, kita jadi bertanya kembali apa yang tidak menarik dari bikepacking. Mengayuh sepeda melewati garis kota, sebelum melipir ke daerah perkebunan, lantas bersisian dengan barisan hutan, sehabis menjajak ketinggian yang diisi lautan pinus, berdoa saat tanjakan sebelum bernyanyi saat meluncur, merasakan sengat matahari di punuk leher, tertawa bersama seorang lelaki pencari kayu bekas, tersanjung dirayu kemuning senja, dan tidur di langgar kampung yang tidak tercatat di peta.
Apa yang dicari?
Seorang bikepacker, atau anak touring (jika tidak turut membawa beban sekulkas), yang saya tanyakan dijalan, menjawab dengan sederhana:
Saya ingin tahu apa yang ada di depan sana.
Jawaban ini bisa menimbulkan dua reaksi: 1. Kagum karena aura petualang yang ngepol 2. Bingung karena kita umumnya mengenal penemuan yang disebut mobil. Namun masuk akal kiranya jika yang disebut kualitas 'tahu' disini diperjelas. Mengetahui ruang dalam kualitas bersepeda berbeda dengan kualitas mengetahui ruang oleh orang yang menggunakan mobil/motor. Orang yang melajukan sepeda diantara pepohonan dapat menggambarkan lebih banyak hal ketimbang mereka yang bergerak diatas kecepatan 50km/jam. Saya (dan saya yakin semua penulis turing) bisa menuliskan lebih dari 700 kata tentang bagaimana rasa, pemandangan, bahkan aroma dari melintasi tanjakan nagrek yang panjangnya hanya 3km. Percayalah, ini contoh(konyol)nya.
Lantas untuk apa?
Agaknya jawaban itu sesederhana mengapa seseorang melakukan hal-hal yang aneh; makan beling, panjat tebing, fetish pada kacamata, atau cinta lagu korea. Karena saya suka, dan karena saya mampu. Jawaban ini mematahkan pertanyaan tentang pencarian, sebab pencarian berekor pada tujuan. Semua orang tahu tujuan bikepacker ketika bertanya mau kemana, sehingga pertanyaan yang lebih tepat adalah mengapa menggunakan sepeda, dan jawabannya sesederhana jawaban tadi. Suka dan bisa.
Fenomenologi
Jika pengertian saya bahwa fenomenologi adalah suatu metode untuk menjelaskan bagaimana suatu pengetahuan terumuskan di kepala seseorang tidak salah, maka dengan melakukan bikepacking kita dapat memahami lebih baik bagaimana kita merangkum suatu pengalaman perpindahan. Jika menggunakan kereta menghabiskan waktu 12 jam jakarta-jogja, dan 10 jam dengan motor, sementara dengan sepeda kita punya waktu 3 hari untuk menamatkan perjalanan tersebut, disini ada perbedaan kualitas dan kuantitas (waktu) perpindahan. Dengan kereta, kita akan dibuai dengan suasana romantis yang mengizinkan fantasi kita melanglangbuana. Dengan motor/mobil, kita merasakan perpindahan tepat sasaran yang kurang mengizinkan lamunan bebas di perjalanan. Namun dengan sepeda, kita diizinkan untuk melamun tanpa kehilangan kontrol atas kecepatan dan irama genjotan yang mesti seimbang. Seketika kita dapat melamunkan banyak hal khususnya perjalanan (kemana, bagaimana, untuk apa), dan lamanya bukan main-main.
Pikiran pertama yang muncul dalam pengalaman jalan pertama seorang bikepacker adalah; Ngapain sih saya? Hal ini terjadi ketika sudah berada di tengah jalan dengan keringat yang membanjir dan tanpa kesempatan balik arah. Ini adalah saat-saat berdoa yang baik untuk pingsan dan mengharapkan mukjizat bertemu orang yang dikenal untuk diantar pulang. Namun Tuhan tidak bermain dadu, biasanya kita akan dipaksa untuk terus menambah jarak dengan genjotan hingga akhirnya kita menyerah untuk menyerah sebelum sampai ke tempat tujuan dan bertanya, mengapa tadi saya punya pikiran untuk menyerah?
Jika pengertian saya bahwa fenomenologi adalah suatu metode untuk menjelaskan bagaimana suatu pengetahuan terumuskan di kepala seseorang tidak salah, maka dengan melakukan bikepacking kita dapat memahami lebih baik bagaimana kita merangkum suatu pengalaman perpindahan. Jika menggunakan kereta menghabiskan waktu 12 jam jakarta-jogja, dan 10 jam dengan motor, sementara dengan sepeda kita punya waktu 3 hari untuk menamatkan perjalanan tersebut, disini ada perbedaan kualitas dan kuantitas (waktu) perpindahan. Dengan kereta, kita akan dibuai dengan suasana romantis yang mengizinkan fantasi kita melanglangbuana. Dengan motor/mobil, kita merasakan perpindahan tepat sasaran yang kurang mengizinkan lamunan bebas di perjalanan. Namun dengan sepeda, kita diizinkan untuk melamun tanpa kehilangan kontrol atas kecepatan dan irama genjotan yang mesti seimbang. Seketika kita dapat melamunkan banyak hal khususnya perjalanan (kemana, bagaimana, untuk apa), dan lamanya bukan main-main.
Pikiran pertama yang muncul dalam pengalaman jalan pertama seorang bikepacker adalah; Ngapain sih saya? Hal ini terjadi ketika sudah berada di tengah jalan dengan keringat yang membanjir dan tanpa kesempatan balik arah. Ini adalah saat-saat berdoa yang baik untuk pingsan dan mengharapkan mukjizat bertemu orang yang dikenal untuk diantar pulang. Namun Tuhan tidak bermain dadu, biasanya kita akan dipaksa untuk terus menambah jarak dengan genjotan hingga akhirnya kita menyerah untuk menyerah sebelum sampai ke tempat tujuan dan bertanya, mengapa tadi saya punya pikiran untuk menyerah?
Pikiran kedua, ketiga, keempat dan seterusnya dari bikepacking adalah, mengapa tidak. Biasanya ini terjadi jika pengalaman bikepacking malam (atau siang, pick your poison) pertama menampakan keuntungannya. Set of benefit yang ditawarkan oleh backpacking sudah dipahami, maka jarak yang belipat ganda dan kemiringan yang menantang bukan lagi menjadi masalah.
Jika saya sekarang menutup mata, saya bisa mengingat banyak detail dari perjalanan bersepeda. Karena dengan medium lain, mobil/motor atau kereta, subjek secara tidak langsung meruangkan dirinya sendiri sehingga secara tidak sengaja membatasi dirinya dengan alam dan mereduksi rasa di titik-titik yang penting saja. Sementara dalam bersepeda, semua hal yang berusaha diceritakan oleh sebuah titik di jalan biasanya benar-benar sampai pada panca indera. Bagaimana visualnya, aromanya, suaranya, serta penggabungannya. Kita melibatkan jalan dalam naungan tempat dan sebaliknya. sehingga rumusan pengalaman yang didapatkan jauh lebih kaya. Kita tidak benar-benar melaju, tetapi kita juga tidak perlu benar-benar berhenti untuk menyesap ruang.
Bikepacking adalah pilihan yang tepat untuk mengalami perpindahan ruang dengan mengenali ruangnya. Sementara jika kita berorientasi untuk mengalami ruang hanya di tujuan, mari gunakan kereta dan mobil/motor.