Saturday, March 14, 2015

Asap, Api, dan Kebenaran


Demi janggut merlin, apa gerangan yang terjadi?

Kronologi peristiwa ini sebenarnya sederhana. Ada suatu ruang di dalam Fakultas Teknik yang aturan rokoknya masih abu-abu (tak jelas haram/halal untuk merokok). Lantas seseorang yang merasa benar merekam kegiatan merokok disana dan menyebarluaskannya di jejaring sosial. Mushab salah satu yang ikut menyebarkan (disamping puluhan anak lainnya). Alhasil, dengan pertimbangan pilihan yang hanya diketahui Tuhan dan pihak mediator, Mushablah yang melakukan klarifikasi internal tentang penyebarluasan foto sakral tersebut. Ini buntutnya.

Sebelum tuduhan dimuntahkan, biar saya klarifikasi. Mushab teman saya, dan sejujurnya saya memang merasakan ketimpangan melihat buntut yang seperti ini. Mushab memang agak hitam dan berjanggut, tapi tidak semata-mata saya menganggapnya kambing hitam. Walaupun bermula dari rasa yang subjektif, saya akan betul-betul coba untuk mengkaji secara objektif persoalan ini.

Aturan yang tidak jelas menjadi sumber masalah. Belakangan barulah pihak dekanat menjelaskan bahwa SK larangan merokok di kantin belum berjalan hingga ruang untuk perokok telah dibangun. Hal ini secara tidak langsung membuat semua oknum, baik perokok, anti-rokok, pengguna kantin, menjadi subjek yang tidak salah. Aturan ini menyebabkan kegamangan masal akibat tanda dan makna yang sampai saat ini tidak terhubung (ada poster larangan merokok di tempat sementara Surat Keputusannya masih digantung). Otomatis ada kubu yang beriman pada haram dan halalnya merokok di tempat ini. Kubu-kubu ini diam dengan imannya. Barulah pecah kongsi ini mewujud ketika seseorang menekan tombol foto pada kameranya.

Bagi saya yang juga seorang perokok aktif (nah, tumbanglah tuduhan bahwa saya mengambil sisi), sebenarnya hal ini dibesar-besarkan. Pertama, saya tidak akan merokok di tempat yang tidak jelas aturannya untuk menghindari hal seperti ini terjadi. Rokokmu, puntungnya, asapnya, adalah urusanmu dan pilihanmu. Namun selalu ada celah dari aktivitas ini, karena asap rokok tidak bisa dikontrol semudah volume musik (karena menyalahkan angin itu menyalahi kodrat). Ruang publik yang baik selalu menjadi tempat dimana semua orang merasakan bagian dari kepemilikan, sebagaimana perokok yang mencari asbak, orang yang tidak merokok mencari ruang tanpa asap rokok. Ada asap ada api. Ada yang terganggu ada yang bertindak. Dalam kasus ini, Asapnya adalah “klarifikasi”, apinya adalah kepala rokok yang dihisap di tempat yang memiliki poster larangan ini.

Kedua, proses klarifikasi internal bukan hal yang utama. Ini merupakan suatu bukti bahwa mahasiswa teknik lebih bersifat reaktif ketimbang preventif. Jika memang ingin merokok di teknik, segeralah memperjelas SK tentang rokok kepada pihak dekanat. Intinya boleh nggak pak? Mulut saya sudah asam. Jika masih ingin merokok tanpa menindak hal itu, bersiaplah dengan konsekuensi adanya oknum yang salah kaprah tentang poster yang SK nya belum jalan.

Ketiga, kepada distributor foto, kritis itu perlu. Namun kesimpulan yang diambil terburu-buru akan berbuntut seperti ini. Lagipula, dalam proses penyebarluasan informasi berupa foto di publik, rawan sekali kemungkinan penonton(yang selalu lebih pandai) mengambil kesimpulan yang jauh lebih subjektif daripada seharusnya. Ini yang ditakutkan oleh perokok (termasuk saya), bahwa image penikmat rokok berubah menjadi seorang pelanggar aturan yang bajingan. Maka kita punya sensor, kita punya bagan keterangan, dan kita punya pembuktian, sebelum melibatkan publik.

Sesederhana merokok di tempat lain yang sudah jelas boleh, dan bukan sekedar percaya bahwa disitu boleh. Jika mau jadi boleh, perjelas. Bolehnya kamuh dan dia kan’ beda, sayang.

Sesederhana tidak menyebarkan dengan gugatan langsung, apalagi mengarahkan. Sebab, keberadaan tanda tidak semata-mata menjanjikan makna yang aktual.

Logika ini sesederhana itu. Tidak sulit mendeduksi kesimpulan tersebut bagi anak teknik yang biasa merancang konsep pembinaan untuk ribuan mahasiswa baru.

Kritisasi klarifikasi
Belum selesai tentang klarifikasi internal sebagai sebuah reaksi. Tujuan utama adanya klarifikasi ini adalah demi sampainya ‘kebenaran’ pada warga teknik terkait isu merokok di kantek. Terlepas dari sampai atau tidaknya, Ini bukan reaksi yang sepadan, sebab hasil dari klarifikasi ini lebih menegaskan bahwa: Di kantek merokok masih halal, jangan suka nyebar fitnah. Reaksi ini bisa mengakibatkan 2 hal: 1. Makin banyak perokok di kantek (lunturnya toleransi antara umat perokok dan bukan) 2. Kengerian yang timbul untuk melakukan suatu proses kritisasi terhadap isu-isu di teknik (takut diminta klarifikasi).

Reaksi klarifikasi internal menjadi sepadan bila akibat utama yang terjadi adalah perpecahan dalam teknik. Namun bila akibat dari penyebaran ini adalah ‘tercemarnya’ nama almat teknik, maka reaksi yang tepat adalah klarifikasi pada khalayak ramai dengan media yang sama (jejaring sosial), oleh pelaku penyebar dan yang disebar, atas nama warga teknik. Ini disebut rekonsiliasi, agar publik memahami bahwa ada kegamangan internal yang pernah terjadi, bahwa tidak ada yang salah. Hanya ada salah paham. Toh, Teknik itu solid dan rukun, maka ke-solid-annya yang harus menjadi muka.

Namun yang saya lihat justru terjadi sebuah proses demokrasi prematur yang menegaskan ada pihak yang benar dan yang salah. Berusaha untuk tidak subjektif, ini kesimpulan yang saya ambil dari membaca surat pernyataan mushab:

Saya keliru (salah), saya mengklarifikasi (minta maaf).

Jika rekonsiliasi ini dilakukan, maka surat diatas tidak akan bertanda tangan satu nama. Lebih dari dua, atau lebih baik lagi satu instansi, isinya kurang lebih menyatakan:

Kami mahasiswa teknik menyadari kesalahpahaman yang telah terjadi akibat kurangnya toleransi dalam pembagian ruang kantin sehingga muncul suatu reaksi yang ambigu dari orang-orang yang terganggu. Dengan ini kami secara sadar menyatakan bahwa kami meminta maaf kepada publik untuk kesalahan informasi (bahwa di kantek dilarang merokok)  dan kepada orang-orang yang merasa tercemar namanya.

 Ttd
Mahasiswa Teknik FTUI


Bahwa saya berubah menjadi kami, betapa aduhai. Tidak ada yang salah, tidak akan ada yang melanjutkan gosip, perokok akan mulai sadar untuk bergeser sedikit mengikuti arah angin, orang yang tidak merokok akan mulai memaklumi. Justru disini publik dan oknum yang antipati kepada teknik akan melihat bahwa sejatinya teknik berusaha menyelesaikan masalahnya dengan tangan terbuka. Bukan mendikte kebenaran.

Menutup tulisan dengan sebatang rokok dan kalimat dari Pramoedya Anata Toer (yang juga perokok) :

“seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan” 


1 comment:

Mushab Abdu Asy Syahid said...
This comment has been removed by the author.