Demi janggut merlin, apa gerangan yang terjadi?
Kronologi
peristiwa ini sebenarnya sederhana. Ada suatu ruang di dalam Fakultas Teknik
yang aturan rokoknya masih abu-abu (tak jelas haram/halal untuk merokok).
Lantas seseorang yang merasa benar merekam kegiatan merokok disana dan menyebarluaskannya
di jejaring sosial. Mushab salah satu yang ikut menyebarkan (disamping puluhan
anak lainnya). Alhasil, dengan pertimbangan pilihan yang hanya diketahui Tuhan
dan pihak mediator, Mushablah yang melakukan klarifikasi internal tentang
penyebarluasan foto sakral tersebut. Ini buntutnya.
Sebelum tuduhan dimuntahkan, biar
saya klarifikasi. Mushab teman saya, dan sejujurnya saya memang merasakan
ketimpangan melihat buntut yang seperti ini. Mushab memang agak hitam dan
berjanggut, tapi tidak semata-mata saya menganggapnya kambing hitam. Walaupun bermula dari rasa yang subjektif, saya akan betul-betul coba untuk mengkaji secara objektif persoalan ini.
Aturan yang tidak jelas menjadi
sumber masalah. Belakangan barulah pihak dekanat menjelaskan bahwa SK larangan
merokok di kantin belum berjalan hingga ruang untuk perokok telah dibangun. Hal
ini secara tidak langsung membuat semua oknum, baik perokok, anti-rokok,
pengguna kantin, menjadi subjek yang tidak salah. Aturan
ini menyebabkan kegamangan masal akibat tanda dan makna yang sampai saat ini
tidak terhubung (ada poster larangan merokok di tempat sementara Surat Keputusannya
masih digantung). Otomatis ada kubu yang beriman pada haram dan halalnya
merokok di tempat ini. Kubu-kubu ini diam dengan imannya. Barulah pecah kongsi
ini mewujud ketika seseorang menekan tombol foto pada kameranya.
Bagi saya yang juga seorang perokok aktif
(nah, tumbanglah tuduhan bahwa saya mengambil sisi), sebenarnya hal ini
dibesar-besarkan. Pertama, saya tidak akan merokok di tempat yang tidak jelas
aturannya untuk menghindari hal seperti ini terjadi. Rokokmu, puntungnya,
asapnya, adalah urusanmu dan pilihanmu. Namun selalu ada celah dari aktivitas
ini, karena asap rokok tidak bisa dikontrol semudah volume musik (karena menyalahkan angin itu menyalahi kodrat). Ruang publik yang
baik selalu menjadi tempat dimana semua orang merasakan bagian dari
kepemilikan, sebagaimana perokok yang mencari asbak, orang yang tidak merokok
mencari ruang tanpa asap rokok. Ada asap ada api. Ada yang terganggu ada yang
bertindak. Dalam kasus ini, Asapnya adalah “klarifikasi”, apinya adalah kepala
rokok yang dihisap di tempat yang memiliki poster larangan ini.
Kedua, proses klarifikasi internal
bukan hal yang utama. Ini merupakan suatu bukti bahwa mahasiswa teknik lebih
bersifat reaktif ketimbang preventif. Jika memang ingin merokok di teknik, segeralah
memperjelas SK tentang rokok kepada pihak dekanat. Intinya boleh nggak pak? Mulut saya sudah asam. Jika masih ingin
merokok tanpa menindak hal itu, bersiaplah dengan konsekuensi adanya oknum yang
salah kaprah tentang poster yang SK nya belum jalan.
Ketiga, kepada distributor foto,
kritis itu perlu. Namun kesimpulan yang diambil terburu-buru akan berbuntut
seperti ini. Lagipula, dalam proses penyebarluasan informasi berupa foto di
publik, rawan sekali kemungkinan penonton(yang selalu lebih pandai) mengambil kesimpulan yang jauh lebih
subjektif daripada seharusnya. Ini yang ditakutkan oleh perokok (termasuk saya), bahwa image penikmat
rokok berubah menjadi seorang pelanggar aturan yang bajingan. Maka kita punya
sensor, kita punya bagan keterangan, dan kita punya pembuktian, sebelum melibatkan
publik.
Sesederhana merokok di tempat lain yang
sudah jelas boleh, dan bukan sekedar percaya bahwa disitu boleh. Jika mau jadi
boleh, perjelas. Bolehnya kamuh dan dia kan’
beda, sayang.
Sesederhana tidak menyebarkan dengan
gugatan langsung, apalagi mengarahkan. Sebab, keberadaan tanda tidak
semata-mata menjanjikan makna yang aktual.
Logika ini sesederhana itu. Tidak sulit
mendeduksi kesimpulan tersebut bagi anak teknik yang biasa merancang konsep
pembinaan untuk ribuan mahasiswa baru.
Kritisasi
klarifikasi
Belum selesai tentang klarifikasi
internal sebagai sebuah reaksi. Tujuan utama adanya klarifikasi ini adalah demi
sampainya ‘kebenaran’ pada warga teknik terkait isu merokok di kantek. Terlepas
dari sampai atau tidaknya, Ini bukan reaksi yang sepadan, sebab hasil dari
klarifikasi ini lebih menegaskan bahwa: Di
kantek merokok masih halal, jangan suka nyebar fitnah. Reaksi ini bisa
mengakibatkan 2 hal: 1. Makin banyak perokok di kantek (lunturnya toleransi
antara umat perokok dan bukan) 2. Kengerian yang timbul untuk melakukan suatu
proses kritisasi terhadap isu-isu di teknik (takut diminta klarifikasi).
Reaksi klarifikasi internal menjadi
sepadan bila akibat utama yang terjadi adalah perpecahan dalam teknik. Namun bila
akibat dari penyebaran ini adalah ‘tercemarnya’ nama almat teknik, maka reaksi
yang tepat adalah klarifikasi pada khalayak ramai dengan media yang sama
(jejaring sosial), oleh pelaku penyebar dan yang disebar, atas nama warga
teknik. Ini disebut rekonsiliasi, agar publik memahami bahwa ada kegamangan
internal yang pernah terjadi, bahwa tidak ada yang salah. Hanya ada salah
paham. Toh, Teknik itu solid dan rukun, maka ke-solid-annya yang harus menjadi muka.
Namun yang saya lihat justru terjadi
sebuah proses demokrasi prematur yang menegaskan ada pihak yang benar dan yang
salah. Berusaha untuk tidak subjektif, ini kesimpulan yang saya ambil dari
membaca surat pernyataan mushab:
Saya
keliru (salah), saya mengklarifikasi (minta maaf).
Jika rekonsiliasi ini dilakukan,
maka surat diatas tidak akan bertanda tangan satu nama. Lebih dari dua, atau
lebih baik lagi satu instansi, isinya kurang lebih menyatakan:
Kami
mahasiswa teknik menyadari kesalahpahaman yang telah terjadi akibat kurangnya
toleransi dalam pembagian ruang kantin sehingga muncul suatu reaksi yang ambigu
dari orang-orang yang terganggu. Dengan ini kami secara sadar menyatakan bahwa kami meminta maaf kepada publik untuk kesalahan informasi (bahwa
di kantek dilarang merokok) dan kepada
orang-orang yang merasa tercemar namanya.
Ttd
Mahasiswa
Teknik FTUI
Bahwa saya berubah menjadi kami,
betapa aduhai. Tidak ada yang salah, tidak akan ada yang melanjutkan gosip,
perokok akan mulai sadar untuk bergeser sedikit mengikuti arah angin, orang
yang tidak merokok akan mulai memaklumi. Justru disini publik dan oknum yang
antipati kepada teknik akan melihat bahwa sejatinya teknik berusaha
menyelesaikan masalahnya dengan tangan terbuka. Bukan mendikte kebenaran.
Menutup tulisan dengan sebatang
rokok dan kalimat dari Pramoedya Anata Toer (yang juga perokok) :
“seorang terpelajar harus sudah berbuat adil
sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”
1 comment:
Post a Comment